Welcome to our online store

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus. Duis cursus egestas hendrerit. Fusce luctus risus id elit malesuada ac sagittis magna tempus. Sed egestas fringilla turpis at ullamcorper. Pellentesque adipiscing ornare cursus.
Latest Products
Kerajaan Tamiang Aceh

Kerajaan Tamiang Aceh

Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M) . Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara.

Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan H.M. Zainuddin. Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.

Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).

Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).

Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).

Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).

Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu).
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.
Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.
Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).

Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.

Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.


Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang). Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.

Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas . Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.[]

Sumber:  http://plik-u.com
Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M) . Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara.

Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan H.M. Zainuddin. Dengan penyajian ini diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi penelitian selanjutnya.

Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh (1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M); 4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).

Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak, maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).

Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang. Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).

Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam, ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).

Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu).
2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar.
Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.
Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).

Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.

Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan saja. Dengan terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang). Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.


Dengan terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintahan baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu. Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota Menanggini (daerah Karang Baru sekarang). Dari ibu kota baru itu Po Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman, penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak dilupakan oleh raja ini.

Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas . Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.[]

Sumber:  http://plik-u.com
Kerajaan Tamiang Aceh
http://4.bp.blogspot.com/_u7qQy8lmYGk/SssAaOwiFGI/AAAAAAAAAhA/XVoRm3qniy4/s72-c/Peta+Aceh+Tamiang.JPG
View detail
Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun

Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun


Bendera Alam Peudeung - Bendera Kerajaan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Silsilah

Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).


Periode Pemerintahan

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.


Wilayah kekuasaan

Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.


Struktur pemerintahan

Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.


Kehidupan Sosial Budaya

a. agama

Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.

Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.

b. Struktur sosial

Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.

c. Kehidupan sehari-hari

Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

Refernsi: http://aneukagamaceh.blogspot.com


Bendera Alam Peudeung - Bendera Kerajaan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Silsilah

Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).


Periode Pemerintahan

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.


Wilayah kekuasaan

Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.


Struktur pemerintahan

Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.


Kehidupan Sosial Budaya

a. agama

Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.

Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.

b. Struktur sosial

Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.

c. Kehidupan sehari-hari

Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

Refernsi: http://aneukagamaceh.blogspot.com
Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2gR1KusnxysWC9j0Mn65-X_KPap18iZuhXl_hrhy4egkK00ke7V0AN_1XVIUfQRL2jHWfLWMr-23GhK3565YDFbrI7ux1JUQcfwzU9nNFfEyV24exapbDONaP_7OZhIy0w70kZq0oorE/s72-c/AlamPeudeung1.jpg
View detail
Rumoh Aceh

Rumoh Aceh

Pekan lalu Bisnis berkesempatan berkunjung ke Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam suasana porak poranda usai bencana tsunami. Di rumah tradisional yang tahan gempa inilah Bisnis bermalam.

Rumah tradisional Aceh oleh warga setempat disebut rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk memudahkan penentuan arah kiblat.

Dari segi ukir-ukiran, rumoh aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda.

Menurut Mohammad Isa, warga desa Lamsiem, saat ini jumlah rumah tradisional di kampungnya makin berkurang karena biaya yang diperlukan untuk membuat rumoh Aceh sudah jauh lebih mahal dibandingkan membangun rumah biasa/modern. Biaya perawatannya pun tak kalah menguras kantung.

Warga yang kebanyakan hidup sebagai pekerja, akhirnya memilih untuk membangun rumah modern. Kenyataan seperti itu sudah terjadi sejak 30 tahun lalu.

Padahal pada waktu lampau mayoritas warga di pemukiman rata-rata tinggal di rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia itu. Bahkan mereka yang berkecukupan, menghias rumah kayunya dengan ukir-ukiran dan ornamen lain. Sedangkan warga yang hidup pas-pasan, cukup membangun rumah kayu tanpa ukiran dan ornamen.

Tidak aneh, sebab hingga 1980-an warga masih mudah mendapatkan kayu sehingga biaya untuk membangun rumoh Aceh waktu itu terjangkau. Tapi, saat ini biaya untuk membangun rumah tradisional sudah dua kali lipat dari biaya rumah modern.

Komponen utama

Meski di tiap kabupaten/kota detilnya berbeda, rumoh Aceh secara umum memiliki komponen utama yang sama. Komponen utama rumoh Aceh ini diungkap dalam buku Budaya Masyarakat Aceh. Komponen itu adalah:

-Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.

-Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu perempuan.

- Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.

- Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

- Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel dengan serambi depan.

- Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.

- Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.

- Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.

Di masa lalu, atap rumoh Aceh terbuat dari rumbia. Jika terjadi kebakaran, atap rumbia itu bisa diturunkan hanya dengan memotong salah satu tali pengikat yang terbuat dari rotan atau ijuk.

Dulu, di depan tangga menuju rumah, biasanya terdepat guci. Benda ini berfungsi untuk menyimpan air untuk cuci kaki setiap hendak masuk ke rumah.

Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya terbuka dan bisa masuk.

Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.

Untuk mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau tali pengikat dari rotan atau ijuk. Sebagian masyarakat Aceh, kadang juga menjadikan pekarangannya sebagai tempat pemakaman.

Secara lebih modern, kini rumah tradisional Aceh dari berbagai kabupaten/ kota diabadikan modelnya di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.

Taman seluas 6 hektare itu dibangun dengan meniru Taman Mini di Jakarta. Namun kompleks itu tidak ada lagi sekarang, telah disapu bersih oleh gelombang tsunami pekan lalu.

Sumber : http://aergot.wordpress.com
Pekan lalu Bisnis berkesempatan berkunjung ke Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam suasana porak poranda usai bencana tsunami. Di rumah tradisional yang tahan gempa inilah Bisnis bermalam.

Rumah tradisional Aceh oleh warga setempat disebut rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk memudahkan penentuan arah kiblat.

Dari segi ukir-ukiran, rumoh aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda.

Menurut Mohammad Isa, warga desa Lamsiem, saat ini jumlah rumah tradisional di kampungnya makin berkurang karena biaya yang diperlukan untuk membuat rumoh Aceh sudah jauh lebih mahal dibandingkan membangun rumah biasa/modern. Biaya perawatannya pun tak kalah menguras kantung.

Warga yang kebanyakan hidup sebagai pekerja, akhirnya memilih untuk membangun rumah modern. Kenyataan seperti itu sudah terjadi sejak 30 tahun lalu.

Padahal pada waktu lampau mayoritas warga di pemukiman rata-rata tinggal di rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia itu. Bahkan mereka yang berkecukupan, menghias rumah kayunya dengan ukir-ukiran dan ornamen lain. Sedangkan warga yang hidup pas-pasan, cukup membangun rumah kayu tanpa ukiran dan ornamen.

Tidak aneh, sebab hingga 1980-an warga masih mudah mendapatkan kayu sehingga biaya untuk membangun rumoh Aceh waktu itu terjangkau. Tapi, saat ini biaya untuk membangun rumah tradisional sudah dua kali lipat dari biaya rumah modern.

Komponen utama

Meski di tiap kabupaten/kota detilnya berbeda, rumoh Aceh secara umum memiliki komponen utama yang sama. Komponen utama rumoh Aceh ini diungkap dalam buku Budaya Masyarakat Aceh. Komponen itu adalah:

-Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.

-Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu perempuan.

- Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.

- Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

- Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel dengan serambi depan.

- Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.

- Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.

- Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.

Di masa lalu, atap rumoh Aceh terbuat dari rumbia. Jika terjadi kebakaran, atap rumbia itu bisa diturunkan hanya dengan memotong salah satu tali pengikat yang terbuat dari rotan atau ijuk.

Dulu, di depan tangga menuju rumah, biasanya terdepat guci. Benda ini berfungsi untuk menyimpan air untuk cuci kaki setiap hendak masuk ke rumah.

Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya terbuka dan bisa masuk.

Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.

Untuk mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau tali pengikat dari rotan atau ijuk. Sebagian masyarakat Aceh, kadang juga menjadikan pekarangannya sebagai tempat pemakaman.

Secara lebih modern, kini rumah tradisional Aceh dari berbagai kabupaten/ kota diabadikan modelnya di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.

Taman seluas 6 hektare itu dibangun dengan meniru Taman Mini di Jakarta. Namun kompleks itu tidak ada lagi sekarang, telah disapu bersih oleh gelombang tsunami pekan lalu.

Sumber : http://aergot.wordpress.com
Rumoh Aceh
View detail
Masjid Baiturrahman Besar adalah salah satu masjid termegah di Indonesia dan Asia Tenggara

Masjid Baiturrahman Besar adalah salah satu masjid termegah di Indonesia dan Asia Tenggara

Masjid Baiturrahman Besar adalah masjid besar untuk menyaksikan sejarah keagungan sejarah diam, keagungan dan kemuliaan kerajaan sejarah Aceh Darussalam sepanjang abad.

Baiturrahman ~ Baiturrahman Masjid Agung

Dunia Eropa memahami bahwa Kesultanan adalah Aceh Iskandar Muda mencapai kemajuan begitu cepat, sehingga sering disebut masa kejayaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat Iskandar Muda berkuasa dunia, terutama Eropa Portugis yang telah menduduki Malaka dan Asia lainnya abad lalu karena gagal beberapa menaklukkan Aceh, menurut review dan analisis pakar dari Portugis menjelaskan bahwa pada saat Iskandar Muda dalam kekuasaan, kekuatan militer di Aceh adalah di puncak kemuliaan dan kekuatan di luar di Portugis, Portugis adalah kekuatan Eropa pada waktu itu yang membuat ekspansi kedunia luar untuk menemukan sumber perekonomian. Portugis pertama kali memasuki Asia, khususnya Asia Tenggara setelah beberapa abad kemudian, diikuti oleh gelandangan-gelandangan di Belanda Baru, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Satu abad sebelum kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang tepat kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahhar putra mahkota Sultan Alaiddin Mughayatsyah percaya bahwa sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, telah membawa Kerajaan Aceh ke arah sinyal. Pada saat Sultan Al-Kahhar daya membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk; Gujarat / India, negara Arab, Mesir, Turki, Cina dan bangsa-bangsa di dunia dari Eropa dan Amerika juga perdagangan cepat dengan kerajaan Aceh Darussalam .

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Kemenangan dicapai oleh sultan Al-Kahhar dan yang diwarisi dan dikembangkan oleh Sultan Iskandar Muda, kemenangan di Iskandar Muda di Aceh yang menimbulkan rasa heran dan menakjubkan dunia di Eropa, sehingga kerajaan Aceh dan selalu memanggil dengan pedagang Eropa sepanjang tahun, dan Portugis pada waktu itu adalah negara maju di Eropa mewakili dunia tidak pernah menyerah kepada Aceh untuk perdagangan sepanjang selat Malaka ke port pusat dari perdagangan dunia.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Terlalu banyak kekayaan bahwa bumi adalah harta karun yang tidak sepenuhnya di kepulauan pulau membuat orang nafsu Portugis semua hari bahwa perut lebih. Portugis tidak rela meninggalkan manfaat dari perdagangan jatuh ke tangan orang lain, meskipun mereka sendiri telah berhasil mengambil keuntungan dua kali lipat selama periode sebelum kesempatan berlalu-lalang di Malaka. Profesor CRBoxer catatan apa yang dikemukakan oleh Jorge de Lamos, direktur perbendaharaan Portugis di Goa / India sekitar tahun 1590-an, hasil yang diperoleh dari Sultan Aceh perdagangan luar negerinya ke Laut Merah dalam satu tahun. Hasil ekspor lada dan lain-lain sebanyak 30.000 sampai 40.000 kwintal bernilai tiga hingga empat juta emas darkat. De Lemos mengatakan;
"Sesungguhnya kekayaan, benar-benar, sangat luar biasa dari Sumatera, jadi jika diekspor Aceh berhasil disita, pasti 'mahkota' kerajaan Portugal-Spanyol akan dapat memulihkan wilyah-wilayah Kristen yang telah (termasuk Yerusalem) bahkan (dapat) menggulingkan kerajaan Ottoman (kalkun).

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Perhatian termasuk Sultan Iskandar Muda Agama bidang, pendidikan, dan hubungan perdagangan disamping bidang Militer tidak bisa dalam itu. Di bidang Agama, Sultan Iskandar Muda Baiturrahman Masjid dibangun pada tahun 1614, masjid Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda jauh berbeda dari arsitektur masjid Baiturrahman sekarang. Berdasarkan kesaksian Peter Mundy pada tahun 1637 dalam kunjungannya ke Kerajaan Aceh pada tahun 1600-sebuah Masjid, Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda tidak memiliki kubah puncak tunggal tetapi baris memiliki genjang berbentuk kubah dan memiliki penutup beberapa atap bertingkat, bila dilihat sekilas tampak seperti dengan kubah pagoda atau bekas peninggalan budaya Hindu yang jauh di masa lalu telah menjadi agama rakyat Aceh.

Sangat disayangkan karena masjid ini dibakar oleh Belanda selama ultimatum perang Belanda dikeluarkan untuk kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 1 April 1873, Belanda membakar masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873, dalam upaya untuk merebut istana istana atau kerajaan Aceh dengan melemahkan semangat pasukan tinggi pertama Masjid Raya Baiturrahman Aceh mempertahankan sampai titik darah terakhir. Lihat masjid pasukan aceh benteng terletak di hujan peluru Belanda api masuk ke dalam masjid sampai bangunan dibakar. Akhirnya, masjid dapat dikuasai oleh Belanda pada 14 April 1873 setelah mengalami tekanan dan perlawanan dari para prajurit dari Aceh, Belanda membayar mahal atas keberaniannya menghancurkan simbol agama yang merupakan orang yang sangat dihormati dan dicintai Aceh, sehingga setelah masjid Belanda sukses pada tanggal 14 April 1873 serangan Masjid Baiturrahman atas Agung yang dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler, Kohler tidak memonitor berapa lama kompleks masjid dengan teropongnya tiba-tiba ditembak oleh pasukan Kohler tewas di Aceh sehingga dalam mempertahankan masjid, posisi Belanda diperas banyak tentara yang hilang semangat mereka sehingga kompleks masjid, yang mungkin telah dibakar oleh tentara merebut kembali kerajaan Aceh.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Tapi setahun kemudian, di belakang Belanda lagi. Pada tanggal 6 Januari 1874, Belanda merampas Masjid Baiturrahman dan istana Aceh. Mesjid ini menjadi Belanda, karena pertahanan dianggap sebagai pejuang Aceh. Pembakaran dikenal hanya sampai kemarahan rakyat Aceh. Belanda melihat Aceh yang tidak dapat ditaklukkan, dan tidak cukup dengan jalan, militer sebelah jantung Aceh untuk para pejuang dan menghentikan serangan, Belanda, dan kemudian membangun kembali masjid pada 24 Syafar 1299 Hijriiah atau 27 Desember 1881 . Its lokasi permanen di tempat seperti ini sekarang.

Peletakan batu pertama dilakukan Letnan Jenderal Karel Van der Heijden dari Belanda, sementara masyarakat Aceh diwakili oleh Teuku Kadhi Malikul Adil serta masjid kunci. Pada tahap berikutnya dari pengembangan manajemen yang disiapkan oleh Shaikh Marhaban dilakukan sebuah rumah besar ulama Pidie, Aceh. Pembangunan masjid ini dirancang oleh seorang arsitek dari Departemen Bruins Burgelijke Openbare Werken Van (Dinas Pekerjaan Umum) di Batavia.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Sementara pemantauan dilakukan LP Luyke, dibantu insinyur lainnya dan beberapa penghulu Garut bahwa pola tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Bahan pengembangan masjid adalah bagian dari Penang, Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu dan tangga marmer untuk lantai di datangkan Cina, besi untuk jendela dari belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang masjid, Surabaya. Bahan bangunan diborong Lie sie A, Cina Letnan bahwa biaya grosir 203.000 Gulden.

Membangun masjid selesai pada tahun 1882 dengan kubah dan telah Masjid Masjid ini tetap diberi nama Baiturrahman jalan raya. Dalam A.P.H. 1935 tahun, Gubernur Jenderal Van Aken memperluas bangunan menjadi tiga kubah masjid. Pada saat Ali Hasjmy Gubernur Aceh, masjid raya kembali ke restorasi ini, dan diperluas menjadi lima kubah bagian. Dua menara pada tahun 1967. Pada tahun 1992-1995, Masjid Baiturrahman Besar lagi dipulihkan dan diperluas ke tujuh dan lima buah menara kubah.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Total, masjid yang memiliki 136 unit dan 32 tiang pilar melingkar buah persegi panjang. Luas masjid adalah 56 x 34 meter, sedangkan serambi 12,5 x 10,5 meter yang mampu menampung sekitar 15 ribu ke Jama'ah. Bahkan mencapai 30 ribu jamaah Idul Fitri waktu shalat, sebagai The Road dan Jalan M. Jam di sisi kiri dan kanan masjid, digunakan sebagai tempat berdoa.

Perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan jalan raya masjid Baiturrahman ditaklukkan begitu keras tidak mudah, masyarakat Aceh memiliki keyakinan bahwa masjid raya Baiturrahman tetap dipertahankan walaupun musuh memiliki simbol membakarnya karena kekuatan masjid adalah suatu hari raya bagi semangat orang perjuangan perang melawan Belanda.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Setelah kehilangan pengalaman Belanda dan kekalahan besar dalam perang melawan kerajaan Aceh, perang pertama Aceh telah menelan biaya perang yang sangat mahal di Belanda, jadi pergi ke Belanda, kegagalan lainnya menaklukkan tahun perang Aceh di Belanda pada tahun 1873 diperoleh sebuah hinaan dari Inggris, di mana banyak yang telah sebelumnya memperingatkan Inggris ke Belanda untuk tidak mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh telah dihormati oleh kerugian, Inggris Belanda adalah kehilangan tentaranya yang sangat banyak di Aceh, jenderal juga dihadiri sejumlah pejabat senior yang terlibat dalam invasi yang menewaskan mendapatkan kecaman dari Eropa sendiri.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Besar Masjid Baiturrahman dikenal tidak hanya di daerah itu sendiri tetapi juga untuk dunia yang terkenal dan merupakan salah satu masjid termegah di Indonesia, dan Asia Tenggara.
Masjid Baiturrahman Besar adalah masjid besar untuk menyaksikan sejarah keagungan sejarah diam, keagungan dan kemuliaan kerajaan sejarah Aceh Darussalam sepanjang abad.

Baiturrahman ~ Baiturrahman Masjid Agung

Dunia Eropa memahami bahwa Kesultanan adalah Aceh Iskandar Muda mencapai kemajuan begitu cepat, sehingga sering disebut masa kejayaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat Iskandar Muda berkuasa dunia, terutama Eropa Portugis yang telah menduduki Malaka dan Asia lainnya abad lalu karena gagal beberapa menaklukkan Aceh, menurut review dan analisis pakar dari Portugis menjelaskan bahwa pada saat Iskandar Muda dalam kekuasaan, kekuatan militer di Aceh adalah di puncak kemuliaan dan kekuatan di luar di Portugis, Portugis adalah kekuatan Eropa pada waktu itu yang membuat ekspansi kedunia luar untuk menemukan sumber perekonomian. Portugis pertama kali memasuki Asia, khususnya Asia Tenggara setelah beberapa abad kemudian, diikuti oleh gelandangan-gelandangan di Belanda Baru, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Satu abad sebelum kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang tepat kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahhar putra mahkota Sultan Alaiddin Mughayatsyah percaya bahwa sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, telah membawa Kerajaan Aceh ke arah sinyal. Pada saat Sultan Al-Kahhar daya membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk; Gujarat / India, negara Arab, Mesir, Turki, Cina dan bangsa-bangsa di dunia dari Eropa dan Amerika juga perdagangan cepat dengan kerajaan Aceh Darussalam .

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Kemenangan dicapai oleh sultan Al-Kahhar dan yang diwarisi dan dikembangkan oleh Sultan Iskandar Muda, kemenangan di Iskandar Muda di Aceh yang menimbulkan rasa heran dan menakjubkan dunia di Eropa, sehingga kerajaan Aceh dan selalu memanggil dengan pedagang Eropa sepanjang tahun, dan Portugis pada waktu itu adalah negara maju di Eropa mewakili dunia tidak pernah menyerah kepada Aceh untuk perdagangan sepanjang selat Malaka ke port pusat dari perdagangan dunia.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Terlalu banyak kekayaan bahwa bumi adalah harta karun yang tidak sepenuhnya di kepulauan pulau membuat orang nafsu Portugis semua hari bahwa perut lebih. Portugis tidak rela meninggalkan manfaat dari perdagangan jatuh ke tangan orang lain, meskipun mereka sendiri telah berhasil mengambil keuntungan dua kali lipat selama periode sebelum kesempatan berlalu-lalang di Malaka. Profesor CRBoxer catatan apa yang dikemukakan oleh Jorge de Lamos, direktur perbendaharaan Portugis di Goa / India sekitar tahun 1590-an, hasil yang diperoleh dari Sultan Aceh perdagangan luar negerinya ke Laut Merah dalam satu tahun. Hasil ekspor lada dan lain-lain sebanyak 30.000 sampai 40.000 kwintal bernilai tiga hingga empat juta emas darkat. De Lemos mengatakan;
"Sesungguhnya kekayaan, benar-benar, sangat luar biasa dari Sumatera, jadi jika diekspor Aceh berhasil disita, pasti 'mahkota' kerajaan Portugal-Spanyol akan dapat memulihkan wilyah-wilayah Kristen yang telah (termasuk Yerusalem) bahkan (dapat) menggulingkan kerajaan Ottoman (kalkun).

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Perhatian termasuk Sultan Iskandar Muda Agama bidang, pendidikan, dan hubungan perdagangan disamping bidang Militer tidak bisa dalam itu. Di bidang Agama, Sultan Iskandar Muda Baiturrahman Masjid dibangun pada tahun 1614, masjid Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda jauh berbeda dari arsitektur masjid Baiturrahman sekarang. Berdasarkan kesaksian Peter Mundy pada tahun 1637 dalam kunjungannya ke Kerajaan Aceh pada tahun 1600-sebuah Masjid, Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda tidak memiliki kubah puncak tunggal tetapi baris memiliki genjang berbentuk kubah dan memiliki penutup beberapa atap bertingkat, bila dilihat sekilas tampak seperti dengan kubah pagoda atau bekas peninggalan budaya Hindu yang jauh di masa lalu telah menjadi agama rakyat Aceh.

Sangat disayangkan karena masjid ini dibakar oleh Belanda selama ultimatum perang Belanda dikeluarkan untuk kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 1 April 1873, Belanda membakar masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873, dalam upaya untuk merebut istana istana atau kerajaan Aceh dengan melemahkan semangat pasukan tinggi pertama Masjid Raya Baiturrahman Aceh mempertahankan sampai titik darah terakhir. Lihat masjid pasukan aceh benteng terletak di hujan peluru Belanda api masuk ke dalam masjid sampai bangunan dibakar. Akhirnya, masjid dapat dikuasai oleh Belanda pada 14 April 1873 setelah mengalami tekanan dan perlawanan dari para prajurit dari Aceh, Belanda membayar mahal atas keberaniannya menghancurkan simbol agama yang merupakan orang yang sangat dihormati dan dicintai Aceh, sehingga setelah masjid Belanda sukses pada tanggal 14 April 1873 serangan Masjid Baiturrahman atas Agung yang dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler, Kohler tidak memonitor berapa lama kompleks masjid dengan teropongnya tiba-tiba ditembak oleh pasukan Kohler tewas di Aceh sehingga dalam mempertahankan masjid, posisi Belanda diperas banyak tentara yang hilang semangat mereka sehingga kompleks masjid, yang mungkin telah dibakar oleh tentara merebut kembali kerajaan Aceh.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Tapi setahun kemudian, di belakang Belanda lagi. Pada tanggal 6 Januari 1874, Belanda merampas Masjid Baiturrahman dan istana Aceh. Mesjid ini menjadi Belanda, karena pertahanan dianggap sebagai pejuang Aceh. Pembakaran dikenal hanya sampai kemarahan rakyat Aceh. Belanda melihat Aceh yang tidak dapat ditaklukkan, dan tidak cukup dengan jalan, militer sebelah jantung Aceh untuk para pejuang dan menghentikan serangan, Belanda, dan kemudian membangun kembali masjid pada 24 Syafar 1299 Hijriiah atau 27 Desember 1881 . Its lokasi permanen di tempat seperti ini sekarang.

Peletakan batu pertama dilakukan Letnan Jenderal Karel Van der Heijden dari Belanda, sementara masyarakat Aceh diwakili oleh Teuku Kadhi Malikul Adil serta masjid kunci. Pada tahap berikutnya dari pengembangan manajemen yang disiapkan oleh Shaikh Marhaban dilakukan sebuah rumah besar ulama Pidie, Aceh. Pembangunan masjid ini dirancang oleh seorang arsitek dari Departemen Bruins Burgelijke Openbare Werken Van (Dinas Pekerjaan Umum) di Batavia.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Sementara pemantauan dilakukan LP Luyke, dibantu insinyur lainnya dan beberapa penghulu Garut bahwa pola tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Bahan pengembangan masjid adalah bagian dari Penang, Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu dan tangga marmer untuk lantai di datangkan Cina, besi untuk jendela dari belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang masjid, Surabaya. Bahan bangunan diborong Lie sie A, Cina Letnan bahwa biaya grosir 203.000 Gulden.

Membangun masjid selesai pada tahun 1882 dengan kubah dan telah Masjid Masjid ini tetap diberi nama Baiturrahman jalan raya. Dalam A.P.H. 1935 tahun, Gubernur Jenderal Van Aken memperluas bangunan menjadi tiga kubah masjid. Pada saat Ali Hasjmy Gubernur Aceh, masjid raya kembali ke restorasi ini, dan diperluas menjadi lima kubah bagian. Dua menara pada tahun 1967. Pada tahun 1992-1995, Masjid Baiturrahman Besar lagi dipulihkan dan diperluas ke tujuh dan lima buah menara kubah.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Total, masjid yang memiliki 136 unit dan 32 tiang pilar melingkar buah persegi panjang. Luas masjid adalah 56 x 34 meter, sedangkan serambi 12,5 x 10,5 meter yang mampu menampung sekitar 15 ribu ke Jama'ah. Bahkan mencapai 30 ribu jamaah Idul Fitri waktu shalat, sebagai The Road dan Jalan M. Jam di sisi kiri dan kanan masjid, digunakan sebagai tempat berdoa.

Perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan jalan raya masjid Baiturrahman ditaklukkan begitu keras tidak mudah, masyarakat Aceh memiliki keyakinan bahwa masjid raya Baiturrahman tetap dipertahankan walaupun musuh memiliki simbol membakarnya karena kekuatan masjid adalah suatu hari raya bagi semangat orang perjuangan perang melawan Belanda.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Setelah kehilangan pengalaman Belanda dan kekalahan besar dalam perang melawan kerajaan Aceh, perang pertama Aceh telah menelan biaya perang yang sangat mahal di Belanda, jadi pergi ke Belanda, kegagalan lainnya menaklukkan tahun perang Aceh di Belanda pada tahun 1873 diperoleh sebuah hinaan dari Inggris, di mana banyak yang telah sebelumnya memperingatkan Inggris ke Belanda untuk tidak mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh telah dihormati oleh kerugian, Inggris Belanda adalah kehilangan tentaranya yang sangat banyak di Aceh, jenderal juga dihadiri sejumlah pejabat senior yang terlibat dalam invasi yang menewaskan mendapatkan kecaman dari Eropa sendiri.

Baiturrahman Masjid Agung Baiturrahman Masjid Agung ~

Besar Masjid Baiturrahman dikenal tidak hanya di daerah itu sendiri tetapi juga untuk dunia yang terkenal dan merupakan salah satu masjid termegah di Indonesia, dan Asia Tenggara.
Masjid Baiturrahman Besar adalah salah satu masjid termegah di Indonesia dan Asia Tenggara
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjB05oYjfk05a1zZVcrcrD3Lt2RoaoUWGnP_HkoFHN1tcVn2pL5tllA-6gWEWT0-eAaWzt0h9jMPE5A8DU8SPzFSw3oh1aGDECC3jTKLDUpsrl77vMw5DN2LwmSqGZfFdCjvmTUtbUtDYqB/s72-c/Mesjid+Baiturrahman+Banda+Aceh+tahun+40-an+yang+menjadi+cikal+bakal+mesjid+tercantik+dan+juga+bersejarah+karena+menjadi+simbol+heroisme+rakyat+Aceh+dalam+melakukan+perlawanan+sengit+atas+penjajah+Belanda.jpg
View detail
Kerajaan Poli Kab. Pidie

Kerajaan Poli Kab. Pidie

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.

Referensi :
•http://iskandarnorman.blogspot.com
•http://harian-aceh.com
•http://aweaceh.blogspot.com
•http://www.lintasberita.us

Sumber : http://www.atjehcyber.tk
Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.

Referensi :
•http://iskandarnorman.blogspot.com
•http://harian-aceh.com
•http://aweaceh.blogspot.com
•http://www.lintasberita.us

Sumber : http://www.atjehcyber.tk
Kerajaan Poli Kab. Pidie
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1BbV2KwL683OXxkQhKl7Fp3vET1_HLxOtEb1AsQqZ390ufawkPQ_7CD_xE3RszP8giFr7KXxJhB_GV0H41sHCAtTlTQn6vtC0K5QWabhR56konzk_vI3Q3UdcydAeH7YAl8OEkdGpAgP6/s72-c/images.jpg
View detail
Makam Sejarah di Pase

Makam Sejarah di Pase


Sejarah telah mencatat bahwa di Aceh Utara pernah berdiri kerajaan Islam Pasai. Hingga sekarang, di sana banyak terdapat makam (grave) para pembesar, baik muslim maupun nonmuslim sebagai bukti di Pasai sebagai kerajaan agung pada masa itu. Makam-makam tersebut kini perlu pemugaran sebagai situs sejarah. Berikut tuhoe mencatat sejumlah makam yang memiliki pertalian darah (hubungan) dengan Kerajaan Pasai. Jika punya waktu, melayatlah walau sekedar mengingat bahwa sebesar apa pun kemegahan masa hidup, ke alam kubur jua kembali kita.

Grave Sultan Malikul Dhahir
Sultan Malikul Dhahir adalah anak pertama dari Sultan Malikussaleh yang mengambil alih pimpinan Kerajaan Samudera Pasai dari tahun 1297-1326 M. Makamnya terletak di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km dari Kota Lhokseumawe. Posisi makam ini bersebelahan dengan makam Malikussaleh. Batu nisannya terbuat dari granit, terpahat surat At-Taubah ayat 21-22 serta teks yang diterjemahan, “Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia, yang syahid bernama Sultan Malik Adh-Dhahir, cahaya dunia dan sinar agama. Muhammad bin Malik Al-Saleh, wafat malam Ahad 12 Zulhijjah 726 H (19 Nopember 1326 M).

Makam Nahrisyah
Nahrisyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1416-1428 M. Ratu Nahrisyah dikenal arif dan bijak. Ia bertahta dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia pada masanya sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa tersebut. Makamnya terletak di Gampông Kuta Krueng, Kecamatan Samudera ± 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe, tidak jauh dari Makam Malikussaleh . Surat Yasin dengan kaligrafi yang indah terpahat dengan lengkap pada nisannya. Tercantum pula ayat Qursi, Surat Ali Imran ayat 18 19, Surat Al-Baqarah ayat 285 286, dan sebuah penjelasan dalam aksara Arab yang artinya, “Inilah makam yang suci, Ratu yang mulia almarhumah Nahrisyah yang digelar dari bangsa chadiu bin Sultan Haidar Ibnu Said Ibnu Zainal Ibnu Sultan Ahmad Ibnu Sultan Muhammad Ibnu Sultan Malikussaleh, mangkat pada Senin 17 Zulhijjah 831 H” (1428 M).

Grave of Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah
Teungku Sidi Abdullah Tajul Milah berasal dari Dinasti Abbasiyah dan merupakan cicit dari khalifah Al-Muntasir yang meninggalkan negerinya ( Irak ) karena diserang oleh tentara Mongolia. Beliau berangkat dari Delhi menuju Samudera Pasai dan mangkat di Pasai tahun 1407 M. Ia adalah pemangku jabatan Menteri Keuangan. Makamnya terletak di sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya terbuat dari marmer berhiaskan ukiran kaligrafi, ayat Qursi yang ditulis melingkar pada pinggiran nisan. Sedangkan di bagian atasnya tertera kalimat Bismillah serta surat At-Taubah ayat 21-22.

Makam Perdana Menteri
Situs ini disebut juga Makam Teungku Yacob. Beliau adalah seorang Perdana Menteri pada zaman Kerajaan Samudera Pasai sehingga makamnya digelar Makam Perdana Menteri. Beliau mangkat pada bulan Muharram 630 H (Augustus 1252 M). Di lokasi ini terdapat 8 buah batu pusara dengan luas pertapakan 8 x 15 m. Nisannya bertuliskan kaligrafi indah surat Al-Ma’aarij ayat 18-23 dan surat Yasin ayat 78-81.

Makam Teungku 44
Makam ini berjuluk Makam Teungku 44 (Peuet Ploh Peuet) karena di sini dikuburkan 44 orang ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh karena menentang dan mengharamkan perkawinan raja dengan putri kandungnya. Makam ini dapat ditemui di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Pada nisan tersebut bertuliskan kaligrafi yang indah surat Ali Imran ayat 18.

Grave of Teungku Di Iboih
Makam Teungku Di Iboih adalah milik Maulana Abdurrahman Al-Fasi. Sebagian arkeolog berpendapat bahwa makam ini lebih tua daripada makam Malikussaleh. Makam ini terletak di Gampông Mancang, Kecamatan Samudera ± 16 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi yang indah terdiri dari ayat Qursi, surat Ali Imran ayat 18, dan surat At-Taubah ayat 21-22.

Makam Batee Balee
Makam ini merupakan situs peninggalan sejarah Kerajaan Samudera Pasai. Tokoh utama yang dimakamkan pada Situs Batee Balee ini adalah Tuhan Perbu yang mangkat tahun 1444 M. Lokasinya di Gampông Meucat, Kecamatan Samudera, sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Di antara nisan-nisan tersebut ada yang bertuliskan kaligrafi dari surat Yasin, Surat Ali Imran, Surat Al’Araaf, Surat Al-Jaatsiyah, Surat Al-Hasyr.

Makam Ratu Al-Aqla
Ratu Al-Aqla adalah putri Sultan Muhammad (Malikul Dhahir ), yang mangkat pada tahun 1380 M. Makam ini berlokasi di Gampông Meunje Tujoh, Kecamatan. Matangkuli ± 30 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi indah berbahasa Kawi dan bahasa Arab.


Sejarah telah mencatat bahwa di Aceh Utara pernah berdiri kerajaan Islam Pasai. Hingga sekarang, di sana banyak terdapat makam (grave) para pembesar, baik muslim maupun nonmuslim sebagai bukti di Pasai sebagai kerajaan agung pada masa itu. Makam-makam tersebut kini perlu pemugaran sebagai situs sejarah. Berikut tuhoe mencatat sejumlah makam yang memiliki pertalian darah (hubungan) dengan Kerajaan Pasai. Jika punya waktu, melayatlah walau sekedar mengingat bahwa sebesar apa pun kemegahan masa hidup, ke alam kubur jua kembali kita.

Grave Sultan Malikul Dhahir
Sultan Malikul Dhahir adalah anak pertama dari Sultan Malikussaleh yang mengambil alih pimpinan Kerajaan Samudera Pasai dari tahun 1297-1326 M. Makamnya terletak di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km dari Kota Lhokseumawe. Posisi makam ini bersebelahan dengan makam Malikussaleh. Batu nisannya terbuat dari granit, terpahat surat At-Taubah ayat 21-22 serta teks yang diterjemahan, “Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia, yang syahid bernama Sultan Malik Adh-Dhahir, cahaya dunia dan sinar agama. Muhammad bin Malik Al-Saleh, wafat malam Ahad 12 Zulhijjah 726 H (19 Nopember 1326 M).

Makam Nahrisyah
Nahrisyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1416-1428 M. Ratu Nahrisyah dikenal arif dan bijak. Ia bertahta dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia pada masanya sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa tersebut. Makamnya terletak di Gampông Kuta Krueng, Kecamatan Samudera ± 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe, tidak jauh dari Makam Malikussaleh . Surat Yasin dengan kaligrafi yang indah terpahat dengan lengkap pada nisannya. Tercantum pula ayat Qursi, Surat Ali Imran ayat 18 19, Surat Al-Baqarah ayat 285 286, dan sebuah penjelasan dalam aksara Arab yang artinya, “Inilah makam yang suci, Ratu yang mulia almarhumah Nahrisyah yang digelar dari bangsa chadiu bin Sultan Haidar Ibnu Said Ibnu Zainal Ibnu Sultan Ahmad Ibnu Sultan Muhammad Ibnu Sultan Malikussaleh, mangkat pada Senin 17 Zulhijjah 831 H” (1428 M).

Grave of Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah
Teungku Sidi Abdullah Tajul Milah berasal dari Dinasti Abbasiyah dan merupakan cicit dari khalifah Al-Muntasir yang meninggalkan negerinya ( Irak ) karena diserang oleh tentara Mongolia. Beliau berangkat dari Delhi menuju Samudera Pasai dan mangkat di Pasai tahun 1407 M. Ia adalah pemangku jabatan Menteri Keuangan. Makamnya terletak di sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya terbuat dari marmer berhiaskan ukiran kaligrafi, ayat Qursi yang ditulis melingkar pada pinggiran nisan. Sedangkan di bagian atasnya tertera kalimat Bismillah serta surat At-Taubah ayat 21-22.

Makam Perdana Menteri
Situs ini disebut juga Makam Teungku Yacob. Beliau adalah seorang Perdana Menteri pada zaman Kerajaan Samudera Pasai sehingga makamnya digelar Makam Perdana Menteri. Beliau mangkat pada bulan Muharram 630 H (Augustus 1252 M). Di lokasi ini terdapat 8 buah batu pusara dengan luas pertapakan 8 x 15 m. Nisannya bertuliskan kaligrafi indah surat Al-Ma’aarij ayat 18-23 dan surat Yasin ayat 78-81.

Makam Teungku 44
Makam ini berjuluk Makam Teungku 44 (Peuet Ploh Peuet) karena di sini dikuburkan 44 orang ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh karena menentang dan mengharamkan perkawinan raja dengan putri kandungnya. Makam ini dapat ditemui di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Pada nisan tersebut bertuliskan kaligrafi yang indah surat Ali Imran ayat 18.

Grave of Teungku Di Iboih
Makam Teungku Di Iboih adalah milik Maulana Abdurrahman Al-Fasi. Sebagian arkeolog berpendapat bahwa makam ini lebih tua daripada makam Malikussaleh. Makam ini terletak di Gampông Mancang, Kecamatan Samudera ± 16 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi yang indah terdiri dari ayat Qursi, surat Ali Imran ayat 18, dan surat At-Taubah ayat 21-22.

Makam Batee Balee
Makam ini merupakan situs peninggalan sejarah Kerajaan Samudera Pasai. Tokoh utama yang dimakamkan pada Situs Batee Balee ini adalah Tuhan Perbu yang mangkat tahun 1444 M. Lokasinya di Gampông Meucat, Kecamatan Samudera, sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Di antara nisan-nisan tersebut ada yang bertuliskan kaligrafi dari surat Yasin, Surat Ali Imran, Surat Al’Araaf, Surat Al-Jaatsiyah, Surat Al-Hasyr.

Makam Ratu Al-Aqla
Ratu Al-Aqla adalah putri Sultan Muhammad (Malikul Dhahir ), yang mangkat pada tahun 1380 M. Makam ini berlokasi di Gampông Meunje Tujoh, Kecamatan. Matangkuli ± 30 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi indah berbahasa Kawi dan bahasa Arab.

Makam Sejarah di Pase
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidcIoltoyqVszwUxJyqNpfwmFPvdOz0Ttw2ZJfFfMSk1BYiYnzLEkutNp8NOSB14WYzWuOBEp54nDruWjiQKVO7ZD83ThwbvJ6Vu4tIIf0OzKjXoSTGyqyzfZFUZuWgjqZ3WkZ_s-Zgrg/s72-c/2012-01-22+16.24.56.jpg
View detail
Gayo Lues Pada Zaman Kerajaan Aceh

Gayo Lues Pada Zaman Kerajaan Aceh

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukan ke dalam Kerajaan Aceh. Gayo dan Alas dibagi atas beberapa daerah yang disebut Kejurun. Kepada Kejurun diberikan sebuah bawar, pedang (semacam tongkat komando) sebagai pengganti surat keputusan. Daerah Gayo dan Alas dibagi atas delapan Kejuruan. Enam di Gayo dan Dua di Tanah Alas. Di Gayo yaitu Kejuruan Bukit, Lingge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesan dan Abuk; di Tanah Alas, Batu Mbulan dan Bambel. Kejuruan Patiambang berkedudukan di Penampakan, dengan luas daerah seluruh Gayo Lues dengan 55 kampung. Kepala pemerintahan dipegang Kejuruan dengan dibantu 4 orang Reje, yaitu Reje Gele, Bukit, Rema dan Kemala, dan delapan Reje Cik yaitu : Porang, Kutelintang, Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan, Gegarang dan Padang. Tugas utama Reje dan REje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing dan memungut pajak dari rakyat serta memilih Kejuruan. Kejuruan setiap tahun menyetor upeti kepada Sultan Aceh.

Ekspedisi Van Daalen ke Daerah Gayo Lues
Setelah Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menyerah kepada Belanda pada tahun 1903, maka Gubernur Militer Aceh Van Heutsz memutuskan untuk menaklukan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk adalah daerah Gayo Lues dan Alas Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah tersebut. Setelah segala sesuatunya daianggap rampung maka Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo Lues pada tahun 1904. Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen memasuki daerah Gayo Lues di sebuah kampung yang terpencil yaitu Kampung Kela (9 Maret 1904). Dari sinilah daerah Gayo Lues ditaklukkan benteng demi benteng. Dimulai dengan menaklukkan Benteng Pasir ( 16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904). Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya juga dibunuh. menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (Pengarang Belanda) hampir 4.000 orang rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H. Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen manyak Tri, Dimus dan lain-lain.
B. Gayo Lues Pada Zaman Belanda
Pasukan Belanda yang pergi meninggalkan Gayo Lues ke Tanah Alas kembali lagi pada tahun 1905 untuk menyusun Pemerintahan. Untuk Gayoo dan Alas dibentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten). Onder Afdeling Gayo Lues membawahi tiga daerah yang disebut Landschap (Kecamatan), yaitu :
- Landschaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii
- Landschaap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan
- Landschaap Bambel dikepalai oleh Syahiddin
Sejak 1905-1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh Muhammad Din, pemberontakan gagal, dapat dipadamkan dan Muhammad Din dibuang ke Boven Digul (Irian) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan Madura.
C. Gayo Lues Pada Zaman Jepang
Pada tahun 19421945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai daerah pertahanan terakhir jepang. Daerah ini cocok untuk pemusatan militer. Untuk itu pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih kemiliteran dalam jumlah yang banyak diharapkan pemuda pemuda ini kelak sebagai pendukung militer Jepang. Pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang antara lain adalah Muhammad Din, Bahrin, Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan Sulaiman, Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain  lain yang kelak berjasa dalam agresi I dan II.

D. Gayo Lues Pada Zaman Kemerdekaan
Gema Proklamasi lama baru sampai ke GAYO Lues. Kepastiannya baru di dapat pada akhir September 1945. Pada tanggal 4 Oktober 1945 teks Proklamasi dibacakan lagi di Blangkejeren oleh Muhammad Din. Pada tahum 1946 Pemerintah Aceh menetapkan daerah pedalaman menjadi satu kabupaten ( Keluhakan ) yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Luhak (Bupati) dan ibukota Kabupaten dimusyawarahkan antara pemimpin dari Takengon, Blang Kejeren dan Kutacane. Setelah diadakan musyawarah terpilihlah Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh Tengah sedangkan Takengon dipilih menjadi ibukota, A.R.Hajat menjadi Patih, Mude Sedang menjadi Wedena Takengon, M. Saleh Aman Sari menjadi Wedana Gayo Lues dan Khabar Ginting menjadi Wedana Tanah Alas. Setelah susunan Pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah terasa kesulitan menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan Takengon-Blang Kejeren-Kutacae sangat jauh. Atas dasar kesulitan di atas maka sejak tahun 1957 mulailah Gayo dan Alas berjuang membentuk Kabupaten sendiri. Setelah melalui perjuangan penuh liku-liku akhirnya pada tahun 1974 Gayo dan Alas terbentuk menjadi Kabupaten yang dinamakan Kabupaten Aceh Tenggara dengan UU No 4 Tahun 1974 tertanggal 26 Juni 1974.

E. Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1974, maka status Kewedanaan diganti dengan sebutan Pembantu Bupati. Namun sejak tahun 1975 s.d 1981 status Gayo Lues masih dalam status transisi karena Gayo Lues dijadikan daerah koordinator Pemerintahan untuk 4 Kecamatan. Baru pada tahun 1982 Kewedanaan Gayo Lues dijadikan Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues dipimpin oleh Pembantu Bupati. Berhubung karena keterbatasan wewenang ditambah lagi luasnya daerah yang harus dikoordinir dan lagi pula minimnya PAD Aceh Tenggara ada kesan kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan. Pada pertengahan tahun 90-an transportasi Gayo Lues agak mendekati titik terang dengan berfungsinya sarana jalan, sehingga menjadikan Kota Blang Kejeren sebagai simpang empat, yaitu : Blang Kejeren Takengon ; Blang Kejeren - Aceh Selatan ; Blang Kejeren Kutacane dan Blang Kejeren  Aceh Timur. Hal ini memicu percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah Gayo Lues yang mendukung PMDN dan PMDA untuk menanam modal. Faktor intern di atas ditambah lagi dengan faktor ekstern dengan diresmikannya Pembantu Bupati Simeulu menjadi Kabupaten Administratif, menyusul Pembantu Bupati Bireuen dan Pembantu Bupati Singkil menjadi Kabupaten. Hal inilah yang merangsang masyarakat gayo Lues untuk mengikuti jejak daerah tersebut di atas.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka pada akhir tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk memperjuangkan Gayo Lues menjadi Kabupaten Administratif. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang dinamakan Panitia Persiapan Peningkatan Status Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues Blang Kejeren, Kabupaten Aceh Tenggara dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : Drs. H. Maat Husin
Wakil Ketua : H. Husin Sabli
Wakil Ketua : H. Abdullah Wirasalihin
Wakil Ketua : Ak. Wijaya
Wakil Ketua : H. Syahuddin Thamin
Sekretaris : H. M. Saleh Adami
Wakil Sekretaris : Drs. Buniyamin,S
Bendahara : H. M. Yakob Mas
Dilengkapi dengan biro-biro :
Biro Keuangan : Drs. H. Saniman M. Biro Pendapatan : Drs. H. Ramli S, MM
Biro Humas : Syaril A W.
Biro Seni Budaya : H. Ibrahim Sabri
Biro Hukum/Dok.: Drs. H. M. Salim Wahab
Biro Adat : A. Rahim
Biro Umum : Rajab Abdullah.
Maksud dan tujuan panitia ini disampaikan kepada Bupati Aceh Tenggara. Bertepuk tidak sebelah tangan, Bupati sangat setuju dan mendukung gagasan yang baik ini. Panitia meminta Bupati agar menyurati Gubernur dan Ketua DPRD I Aceh. Permitaan ini disanggupi Bupati dan Ketua DPRD II Aceh Tenggara dengan mengirim surat kepada Gubernur dan Ketua DPRD Aceh. Petinggi Aceh lalu menyurati menteri yang terkait di Jakarta termasuk pimpinan DPR, pimpinan Parpol dan lain-lain yang di rasa patut. Proses di Jakarta sedikit agak terhambat mengingat situasi negarapun belum begitu stabil. Karena itu Panitia, Pemerintah Daerah Aceh Tenggara masyarakat Gayo Lues yang berdomisili di Jakarta berjuang terus tanpa mengenal lelah, tanpa biaya yang berlimpah, bekerja tanpa pamrih demi terwujudnya sebuah Kabupaten. Tahun 2000 delegasi dikirim ke Jakarta dari Aceh Tenggara untuk penjajakan dan menemui Menteri Dalam Negri, pimpinan DPR dan Pimpinan parpol untuk mohon bantuan. Setelah melalui proses yang agak panjang akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2001 DPOD menetapkan 4 Calon Kabupaten dari Aceh dinyatakan lulus menjadi Kabupaten, sedangkan Gayo Lues dikaji ulang. Masyarakat Gayo Lues, Pemda Aceh Tenggara, Pemda Daerah Aceh, merasa tidak puas dan kecewa, lalu mengirim delegasi lagi ke Jakarta menemui Petinggi di Jakarta termasuk Wapres. Kepada mereka dimohon dengan hormat agar Gayo Lues dapat diluluskan menjadi Kabupaten. Akhirnya DPOD menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten dalam sidangnya pada tanggal 18 Oktober 2001. Tidak lama kemudian pemerintah mengusulkan RUU pembentukan Kabupaten Gayo Lues ke DPR-RI. Dalam sidang Paripurna DPR-RI tanggal 11 Maret 2002 seluruh fraksi menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten beserta 21 Kabupaten/Kota lainya.
Setelah itu masyarakat Gayo Lues mengusulkan kepada Bupati Aceh Tenggara daftar 5 Calon Pelaksana Tugas Bupati yaitu ;
- Drs. Ramli S.
- Drs. H. Syamsul Bahri
- Drs. H. Harun Al-Rasyid
- Ir. Muhammad Ali Kasim, MM
- Drs. Abdul Gafar
Pada tanggal 2 Juli 2002 Gayo Lues beserta 21 Kabupaten/Kota lainya diresmikan oleh Mendagri Hari Sabarno sebagai sebuah Kabupaten. Pada tanggal 6 Agustus 2002 Gubernur NAD, Ir. Abdullah Puteh melantik Ir. Muhammad Ali Kasim, MM menjadi Penjabat Bupati Gayo Lues di Kutacane. Dengan demikian selesailah sebuah perjuangan yang suci untuk mewujudkan sebuah Kabupaten yang dicita-citakan.



Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukan ke dalam Kerajaan Aceh. Gayo dan Alas dibagi atas beberapa daerah yang disebut Kejurun. Kepada Kejurun diberikan sebuah bawar, pedang (semacam tongkat komando) sebagai pengganti surat keputusan. Daerah Gayo dan Alas dibagi atas delapan Kejuruan. Enam di Gayo dan Dua di Tanah Alas. Di Gayo yaitu Kejuruan Bukit, Lingge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesan dan Abuk; di Tanah Alas, Batu Mbulan dan Bambel. Kejuruan Patiambang berkedudukan di Penampakan, dengan luas daerah seluruh Gayo Lues dengan 55 kampung. Kepala pemerintahan dipegang Kejuruan dengan dibantu 4 orang Reje, yaitu Reje Gele, Bukit, Rema dan Kemala, dan delapan Reje Cik yaitu : Porang, Kutelintang, Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan, Gegarang dan Padang. Tugas utama Reje dan REje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing dan memungut pajak dari rakyat serta memilih Kejuruan. Kejuruan setiap tahun menyetor upeti kepada Sultan Aceh.

Ekspedisi Van Daalen ke Daerah Gayo Lues
Setelah Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menyerah kepada Belanda pada tahun 1903, maka Gubernur Militer Aceh Van Heutsz memutuskan untuk menaklukan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk adalah daerah Gayo Lues dan Alas Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah tersebut. Setelah segala sesuatunya daianggap rampung maka Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo Lues pada tahun 1904. Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen memasuki daerah Gayo Lues di sebuah kampung yang terpencil yaitu Kampung Kela (9 Maret 1904). Dari sinilah daerah Gayo Lues ditaklukkan benteng demi benteng. Dimulai dengan menaklukkan Benteng Pasir ( 16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904). Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya juga dibunuh. menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (Pengarang Belanda) hampir 4.000 orang rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H. Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen manyak Tri, Dimus dan lain-lain.
B. Gayo Lues Pada Zaman Belanda
Pasukan Belanda yang pergi meninggalkan Gayo Lues ke Tanah Alas kembali lagi pada tahun 1905 untuk menyusun Pemerintahan. Untuk Gayoo dan Alas dibentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten). Onder Afdeling Gayo Lues membawahi tiga daerah yang disebut Landschap (Kecamatan), yaitu :
- Landschaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii
- Landschaap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan
- Landschaap Bambel dikepalai oleh Syahiddin
Sejak 1905-1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh Muhammad Din, pemberontakan gagal, dapat dipadamkan dan Muhammad Din dibuang ke Boven Digul (Irian) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan Madura.
C. Gayo Lues Pada Zaman Jepang
Pada tahun 19421945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai daerah pertahanan terakhir jepang. Daerah ini cocok untuk pemusatan militer. Untuk itu pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih kemiliteran dalam jumlah yang banyak diharapkan pemuda pemuda ini kelak sebagai pendukung militer Jepang. Pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang antara lain adalah Muhammad Din, Bahrin, Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan Sulaiman, Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain  lain yang kelak berjasa dalam agresi I dan II.

D. Gayo Lues Pada Zaman Kemerdekaan
Gema Proklamasi lama baru sampai ke GAYO Lues. Kepastiannya baru di dapat pada akhir September 1945. Pada tanggal 4 Oktober 1945 teks Proklamasi dibacakan lagi di Blangkejeren oleh Muhammad Din. Pada tahum 1946 Pemerintah Aceh menetapkan daerah pedalaman menjadi satu kabupaten ( Keluhakan ) yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Luhak (Bupati) dan ibukota Kabupaten dimusyawarahkan antara pemimpin dari Takengon, Blang Kejeren dan Kutacane. Setelah diadakan musyawarah terpilihlah Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh Tengah sedangkan Takengon dipilih menjadi ibukota, A.R.Hajat menjadi Patih, Mude Sedang menjadi Wedena Takengon, M. Saleh Aman Sari menjadi Wedana Gayo Lues dan Khabar Ginting menjadi Wedana Tanah Alas. Setelah susunan Pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah terasa kesulitan menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan Takengon-Blang Kejeren-Kutacae sangat jauh. Atas dasar kesulitan di atas maka sejak tahun 1957 mulailah Gayo dan Alas berjuang membentuk Kabupaten sendiri. Setelah melalui perjuangan penuh liku-liku akhirnya pada tahun 1974 Gayo dan Alas terbentuk menjadi Kabupaten yang dinamakan Kabupaten Aceh Tenggara dengan UU No 4 Tahun 1974 tertanggal 26 Juni 1974.

E. Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1974, maka status Kewedanaan diganti dengan sebutan Pembantu Bupati. Namun sejak tahun 1975 s.d 1981 status Gayo Lues masih dalam status transisi karena Gayo Lues dijadikan daerah koordinator Pemerintahan untuk 4 Kecamatan. Baru pada tahun 1982 Kewedanaan Gayo Lues dijadikan Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues dipimpin oleh Pembantu Bupati. Berhubung karena keterbatasan wewenang ditambah lagi luasnya daerah yang harus dikoordinir dan lagi pula minimnya PAD Aceh Tenggara ada kesan kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan. Pada pertengahan tahun 90-an transportasi Gayo Lues agak mendekati titik terang dengan berfungsinya sarana jalan, sehingga menjadikan Kota Blang Kejeren sebagai simpang empat, yaitu : Blang Kejeren Takengon ; Blang Kejeren - Aceh Selatan ; Blang Kejeren Kutacane dan Blang Kejeren  Aceh Timur. Hal ini memicu percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah Gayo Lues yang mendukung PMDN dan PMDA untuk menanam modal. Faktor intern di atas ditambah lagi dengan faktor ekstern dengan diresmikannya Pembantu Bupati Simeulu menjadi Kabupaten Administratif, menyusul Pembantu Bupati Bireuen dan Pembantu Bupati Singkil menjadi Kabupaten. Hal inilah yang merangsang masyarakat gayo Lues untuk mengikuti jejak daerah tersebut di atas.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka pada akhir tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk memperjuangkan Gayo Lues menjadi Kabupaten Administratif. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang dinamakan Panitia Persiapan Peningkatan Status Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues Blang Kejeren, Kabupaten Aceh Tenggara dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : Drs. H. Maat Husin
Wakil Ketua : H. Husin Sabli
Wakil Ketua : H. Abdullah Wirasalihin
Wakil Ketua : Ak. Wijaya
Wakil Ketua : H. Syahuddin Thamin
Sekretaris : H. M. Saleh Adami
Wakil Sekretaris : Drs. Buniyamin,S
Bendahara : H. M. Yakob Mas
Dilengkapi dengan biro-biro :
Biro Keuangan : Drs. H. Saniman M. Biro Pendapatan : Drs. H. Ramli S, MM
Biro Humas : Syaril A W.
Biro Seni Budaya : H. Ibrahim Sabri
Biro Hukum/Dok.: Drs. H. M. Salim Wahab
Biro Adat : A. Rahim
Biro Umum : Rajab Abdullah.
Maksud dan tujuan panitia ini disampaikan kepada Bupati Aceh Tenggara. Bertepuk tidak sebelah tangan, Bupati sangat setuju dan mendukung gagasan yang baik ini. Panitia meminta Bupati agar menyurati Gubernur dan Ketua DPRD I Aceh. Permitaan ini disanggupi Bupati dan Ketua DPRD II Aceh Tenggara dengan mengirim surat kepada Gubernur dan Ketua DPRD Aceh. Petinggi Aceh lalu menyurati menteri yang terkait di Jakarta termasuk pimpinan DPR, pimpinan Parpol dan lain-lain yang di rasa patut. Proses di Jakarta sedikit agak terhambat mengingat situasi negarapun belum begitu stabil. Karena itu Panitia, Pemerintah Daerah Aceh Tenggara masyarakat Gayo Lues yang berdomisili di Jakarta berjuang terus tanpa mengenal lelah, tanpa biaya yang berlimpah, bekerja tanpa pamrih demi terwujudnya sebuah Kabupaten. Tahun 2000 delegasi dikirim ke Jakarta dari Aceh Tenggara untuk penjajakan dan menemui Menteri Dalam Negri, pimpinan DPR dan Pimpinan parpol untuk mohon bantuan. Setelah melalui proses yang agak panjang akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2001 DPOD menetapkan 4 Calon Kabupaten dari Aceh dinyatakan lulus menjadi Kabupaten, sedangkan Gayo Lues dikaji ulang. Masyarakat Gayo Lues, Pemda Aceh Tenggara, Pemda Daerah Aceh, merasa tidak puas dan kecewa, lalu mengirim delegasi lagi ke Jakarta menemui Petinggi di Jakarta termasuk Wapres. Kepada mereka dimohon dengan hormat agar Gayo Lues dapat diluluskan menjadi Kabupaten. Akhirnya DPOD menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten dalam sidangnya pada tanggal 18 Oktober 2001. Tidak lama kemudian pemerintah mengusulkan RUU pembentukan Kabupaten Gayo Lues ke DPR-RI. Dalam sidang Paripurna DPR-RI tanggal 11 Maret 2002 seluruh fraksi menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten beserta 21 Kabupaten/Kota lainya.
Setelah itu masyarakat Gayo Lues mengusulkan kepada Bupati Aceh Tenggara daftar 5 Calon Pelaksana Tugas Bupati yaitu ;
- Drs. Ramli S.
- Drs. H. Syamsul Bahri
- Drs. H. Harun Al-Rasyid
- Ir. Muhammad Ali Kasim, MM
- Drs. Abdul Gafar
Pada tanggal 2 Juli 2002 Gayo Lues beserta 21 Kabupaten/Kota lainya diresmikan oleh Mendagri Hari Sabarno sebagai sebuah Kabupaten. Pada tanggal 6 Agustus 2002 Gubernur NAD, Ir. Abdullah Puteh melantik Ir. Muhammad Ali Kasim, MM menjadi Penjabat Bupati Gayo Lues di Kutacane. Dengan demikian selesailah sebuah perjuangan yang suci untuk mewujudkan sebuah Kabupaten yang dicita-citakan.



Gayo Lues Pada Zaman Kerajaan Aceh
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBvYRObmiTCon0VEiqEcEGxrNUgXY_4Ci4Wbl4iaaiX7iBaCTgRoQYvV-k64JVljSngMxSAMR4dgqP33SXsVOXVmb0Cq7gsfyTSBU4X6BoCNf6hkHLH3I2zOlBMxfIkbkoNh_abTcmx5le/s72-c/dsc007622.jpg
View detail
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Visit Aceh 2013 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger